Suatu
saat saya makan di sebuah warung kecil di pinggir jalan di daerah
Sitanggal-Jatibarang. Di warung itu pula terdapat beberapa warga yang tengah
asik ngobrol. Saya mencoba menyimak obrolan kaum jelata ini karena rupanya
serius. Mbuh ora ngerti pemimpin kita.
Sudah puluhan tahun merdeka, sudah banyak ganti Bupati dan Wakil Bupati tetapi
tetap saja kondisi tidak berubah, demikian salah satu kalimat yang
terlontar dari salah satu peserta obrolan warung kopi. Menurut saya ini obrolan
serius dan lebih serius daripada wakil rakyat di gedung Parlemen. Mengapa?
Mereka orang-orang yang masih menggunakan motor dan sering blusukan di jalan
perkampungan dimana masih banyak yang rusak, mereka juga masih merasakan betapa
susahnya memenuhi kebutuhan hidup. Ini berbanding terbalik dengan pejabat yang
masih suka mendiskusikan masalah kemiskinan tetapi di tempat yang ber-AC, di
hotel dengan menu makanan yang beragam dan terkadang tidak habis menu tersebut.
Ini tentu kontras dengan yang mereka diskusikan yaitu masalah kemiskinan.Dapatkan E-Book Marketing
Namun
kaum proletar adalah mereka yang merasakan langsung dampak dari pergantian
pemimpin selama ini. Obrolan warung kopi inilah yang mengilhami saya untuk
menulis tentang Brebes yang baru saja memperingati HUT ke-335.
Yang
paling terasa oleh sebagian besar masyarakat adalah akan kebutuhan dasar mereka
yaitu kesejahteraan. Angka kemiskinan di Kota Bawang ini memang naik turun.
Sebagai gambaran, angka kemiskinan tahun 2005 mencapai 27,79 %. Angka tersebut
meningkat menjadi 30,36 % pada tahun 2006. Namun pada tahun 2007 menurun
kembali menjadi 27,93 %, dan turun berturut-turut menjadi 25,98 % (2008),
24,39 % (2009) dan 23, 01 % (2010), hal itu diungkapkan Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Brebes, Jawa Tengah
(Jateng), Ir. Djoko Gunawan dalam salah
satu media online. Data Badan Pusat Stastitik menyebutkan bahwa pada 2012
jumlah penduduk di Brebes 1.742.511 jiwa, jadi Anda bisa hitung sendiri berapa
warga yang masih tergolong miskin. Sulit rasanya kita menonjolkan kegagahan
kota ini jika jumlah warga yang miskin saja masih tinggi. Bagaimana mungkin
masyarakat akan berpikir rasional dan logis jika kebutuhan psikologisnya saja
belum terpenuhi. Padahal, dalam teori kebutuhan seperti yang diungkapkan
Abraham Maslow, kebutuhan psikologis berada pada peringkat pertama sebelum
manusia berpikir untuk memenuhi kebutuhan sosial bahkan sampai ke kebutuhan
aktualisasi diri.
Dari
sini kita bisa memaklumi bahwa banyak anak-anak muda yang memiliki keterampilan
dan potensi tetapi tidak mampu mengepakan sayapnya seperti laiknya seeokor
burung Elang. Potensi terpendam ini harus kita letupkan untuk mendorong
perubahan di kota ini. Kita baru saja memiliki kepala daerah baru yang dalam
janji kampanyenya melakukan injeksi akan sebuah harapan akan perubahan. Tentu
kita semua berharap Idza-Narjo yang telah dipercaya sebagian besar masyarakat
bisa membuktikan janjinya itu. Menurut hemat penulis, tidak terlalu sulit untuk
mengajak warga di Brebes karena secara psikologi rakyat Brebes terkenal dengan
pekerja keras. Artinya, pemerintah tinggal memfasilitasi agar kerja keras
mereka memiliki hasil yang optimal terutama pada sektor ekonomi. Tipikal kerja
keras warga di Brebes menjadi modal kuat bagi pemerintah jika serius ingin
memajukan daerah ini. Namun jika hanya ingin memanfaatkan ketidakberdayaan
warga dalam kemiskinan maka membiarkan warga bekejera sendiri. Jika jalan ini
yang dipilih maka tinggal menunggu bom waktu, karena lama kelamaan rakyat akan
memberontak dengan kekuatan yang ada. Tidak terlalu sulit juga untuk
menjatuhkan seorang kepala daerah jika kita berkaca pada sejumlah kasus. Kasus
di Mesir, jatuhnya Presiden Soeharto, dan terbaru kasus Bupati Garut, Jawa
Barat, Aceng Fikri yang sempoyongan meredam kasus asmaranya.
Sebagai
seorang yang memiliki latar belakang Marketing Communication Advertising, saya
mencoba mengasosiasikan konteks politik ini dengan sebuah produk komersial.
Tugas seorang Marketing sesungguhnya bukan hanya pada level penjual tetapi
bagaimana merawat customer agar menjadi pelanggan loyal yang akan menguntungkan
sebuah produk. Idza-Narjo adalah sebuah merek, dan ketika bicara mereka maka
kita akan bicara brand. Brand mereka sebagai kader PDI Perjuangan adalah wong
cilik. Brand ini cukup melekat di persepsi sebagian besar masyarakat di Brebes.
Dan analisa penulis, mereka dipilih salah satunya karena berasal dari kandang
banteng tersebut. Bisa saja secara personality,
mereka tidak begitu meyakinkan untuk dipilih menjadi kepala daerah tetapi
ketika warga melihat asal partai mereka maka rakyatpun berbondong-bondong
memilih keduanya. Sebagai warga asli kelahiran Brebes, penulis tentu ikut
merasakan denyut nadi perubahan demi perubahan yang terjadi di Kota Brebes.
Idza-Narjo
harus membuktikan bahwa keberadaan mereka memiliki dampak positif bagia rakyat
di Brebes. Rakyat dalam arti luas, baik yang mendukung selama kampanye maupun
tidak. Menurut hemat penulis, selain membenahi persoalan ekonomi, keduanya juga
harus berpikir keras membenahi masalah infrastruktur, pendidikan dan kesehatan.
Bahkan mereka berdua harus sesering mungkin melalui jalan rusak di perkampungan
supaya merasakan betapa sulitnya dan rekosonya lewat di jalan rusak. Melalui
tulisan ini saya ingin mengingatkan trend
gerakan social politik publik terhadap
sikap para pejabat saat ini. Rakyat sudah cerdas mana yang betul-betul tulus
membangun dan mana yang cuma basa-basi. Kita tentu ingat, saat Presiden SBY
blusukan di perkampungan. Apa tanggapan rakyat saat itu, sebagian melihat
blusukannya SBY cuma pencitraan. Ketidaksukaan publik begitu kentara di
jaringan sosial media. Bisa jadi sebetulnya SBY ingin memperbaiki citra selama
ini yang terkesan elitis, tetapi publik sudah kadung mempersepsikan SBY sebagai
upaya pencitraan. Nah, jangan sampai Idza-Narjo mendapat stigma seperti itu.
Secara
geografis Brebes memiliki potensi besar untuk lebih maju daripada tetangganya
Kota Tegal. Bahkan, bukan hanya untuk Kota Brebes sendiri melainkan Jawa
Tengah. Brebes merupakan etalase Jawa Tengah karena perbatasan dengan Cirebon,
Jawa Barat. Kekuatan ini harus dioptimalkan sehingga lebih bermanfaat bagi
masyaarkat. Kesempatan Idza-Narjo masih panjang untuk membawa Brebes menjadi
daerah yang dikagumi, kota inspiratif karena perubahan demi perubahan terjadi.
Beban mereka berdua sebetulnya tidak terlalu berat seperti rekan separtainya di
DKI Jakarta, Joko Widodo. Secara budaya, psikologis, warga di Brebes memiliki
keseragaman tidak serumit mengurus DKI. Warga juga tidak akan mengadili
keduanya jika tidak bisa menyulap Brebes menjadi daerah maju. Rakyat cuma ingin
melihat bukti kalau mereka serius membawa Brebes menjadi daerah yang lebih
baik.
Momen
HUT Kota Brebes ke-335 waktu yang paling tepat untuk melakukan pembenahan karena
bisa diukur dengan waktu dan publikpun gampang melihatnya. Apakah di hari ulang
tahun ke-336 mendatang ada perubahan atau tidak? Publik cukup membandingkan
kondisi saat ini dengan yang akan datang. Jika tidak ada perubahan maka publik
akan memberikan stigma buruk bagi keduanya dan partainya. Dan menurut hemat
penulis, tahun-tahun ini justru yang menentukan masa depan mereka berdua dan
partainya karena bertepatan akan diadakannya pemilihan umum 2014. Seperti yang
pernah saya tulis, publik akan menghukum keduanya jika ternyata janji mereka
palsu. Namun sebaliknya, rakyat akan menjadi pemilih loyal jika mereka mampu
membuktikan janjinya tersebut. Usia 335 tentu usia yang sangat tua. Dalam teori
Perilaku Konsumen, usia 335 sudah memasuki sarang kosong tiga yang artinya
konsumen sudah mewariskan produk kepada generasi penerusnya karena tingkat
kepercayaan yang tinggi sehingga diwariskan secara turun menurun.
Namun
usia ke-335 juga dihadapkan pada kalimat
bahwa kedewasaan seseorang tidak ditentukan oleh usia. Kita tentu khawatir,
diusianya yang tua renta ini Brebes bukan menjadi semakin dewasa dan bijak
tetapi justru berperilaku seperti anak-anak. Salah satu perilaku anak-anak yang
bisa dicermati publik adalah reaksioner dan tidak bertanggungjawab. Kita tentu
tidak menginginkan pemimpin kita tidak bertanggungjawab, tetapi kita justru
menginginkan pemimpin kita menjadi pribadi yang bertanggungjawab terhadap apa
yang dijanjikan. APBD 2013 yang diprediksi 1,7 Triliun, rakyat yang pekerja
keras, geografis yang strategis, menjadi sederet kekuatan Brebes. Publik ingin
tanah kelahirannya tidak dicibir orang yang melewati jalan di Brebes karena
bergelombang dan rusak. Sebaliknya, publik menginginkan agar setiap orang yang
melintas di Brebes terkesima dengan perubah-perubahan yang mencengangkan.
Selamat HUT Kota Brebes ke-335, semoga perubahan demi perubahan bisa kami
saksikan. Tulisan ini pernah dimuat di Harian Radar Tegal, Edisi 25 Januari 2013
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !